Wednesday, July 2, 2008

IBUMU, KEMUDIAN AYAHMU

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. [QS. Al-Isra`: 23]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a berkata: Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw lalu bertanya: “Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku layani dengan sebaik mungkin?” Rasulullah saw bersabda: “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Rasulullah saw bersabda: “Kemudian ibumu.” Orang itu terus bertanya: “Kemudian siapa?” Rasulullah saw bersabda: “Kemudian ibumu.” Orang itu terus bertanya: “Kemudian siapa?” Rasulullah saw bersabda: “Kemudian ayahmu.” [HR. Bukhori, Muslim, Ibnu Majjah, Ahmad] 

Saya ingat bahwa saya pernah memaki-maki ibu saya sewaktu saya masih sekolah di Sekolah Dasar. Dulu, terkadang saya merasa jengkel dan berfikir bahwa orangtua saya bukanlah orangtua yang faham kejiwaan anak. Padahal harusnya saya mengerti bahwa mereka memang bukan lulusan fakultas psikologi sehingga saya boleh menuntut mereka untuk memahami saya. 

Namun dibalik itu semua, mereka memiliki sesuatu yang sangat indah. Kelembutan hati. Ya, kelembutan hati seorang ibu yang rela membawa saya kemana pun beliau pergi selama 9 bulan dan beberapa tahun. Namun sembilan bulan pertama adalah 9 bulan yang menakjubkan. Beliau membagi kehidupannya dengan saya, membagi nafasnya dengan saya, membagi makanannya dengan saya, dan menghabiskan seluruh waktunya bersama saya. Selama 9 bulan 10 hari.

Lalu lahirlah bayi mungil yang disambut dengan senyum kesyukuran. Bayi yang terus merasakan kelembutan kedua orangtuanya. Kelembutan orangtua yang rela terkena pipis dan ee si bayi. Kelembutan orangtua yang rela bangun di tengah malam untuk menggantikan popok agar si bayi dapat kembali terlelap dibuai mimpi. Kelembutan demi kelembutan mereka telah membalur di sekujur jiwa-raga saya. Namun hingga ibu saya wafat, saya belum dapat memberikan apa pun untuk membalas segala kelembutan dan kasih-sayang beliau.

Saya menyesal telah menyia-nyiakan waktu saya dalam kedurhakaan terhadap beliau. Kini tinggallah ayah saya. Ayah yang telah bekerja keras untuk mempersiapkan penyambutan atas kelahiran saya. Saya bukanlah raja atau pun presiden. Tetapi beliau menyambut kehadiran saya melebihi penyambutan atas kehadiran seorang raja. Bagi beliau, saya sangatlah istimewa. Saya berharap bahwa saya tidak akan menghabiskan hidup saya dengan membenci beliau. Saya tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya.

Jika dulu mereka telah bersabar atas kita, mengapa sekarang kita tidak dapat bersabar atas mereka? Ingatlah ini ketika Anda merasa kesal kepada orangtua Anda. Tersenyum dan bersyukurlah bahwa Anda masih bisa hidup bersama orangtua Anda. Karena kelak, akan datang masanya Anda merindukan mereka dengan segala perlakuan mereka. Anda akan merindukan mereka yang membelai kepala Anda. Mereka yang memindahkan Anda ke kamar Anda ketika Anda tertidur di ruang keluarga di masa kecil Anda. Atau mereka yang mengganjal kepala Anda dengan bantal ketika Anda terlelap di sofa. Atau mungkin mereka yang mengesalkan Anda ketika mereka menasihati Anda.

Wahai Allah, jadikanlah qubur orangtua kami yang telah wafat itu sebagai taman dari taman-taman surga. Dan jangan jadikan qubur mereka sebagai lembah dari lembah-lembah neraka. Ampunilah segala dosa mereka. Angkatlah segala siksa dari mereka. Dan sayangilah mereka seperti mereka menyayangi kami ketika kami masih kecil. Aamiin.


No comments: