Sunday, November 9, 2008

RAHASIA SILATURRAHMI

Silaturahmi adalah kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dengan terhubungnya silaturahmi, maka ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Bagaimana pun besarnya umat Islam secara kuantitatif, sama sekali tidak ada artinya bila di dalamnya tidak ada persatuan dan kerja sama untuk taat kepada Allah....

----------

Tahukah kalian tentang sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan ataupun keburukan? "Sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan adalah pahala orang yang berbuat kebaikan dan menghubungkan tali silaturahmi, sedangkan yang paling cepat mendatangkan keburukan ialah siksaan bagi orang yang berbuat jahat dan yang memutuskan tali persaudaraan" (HR. Ibnu
Majah).

Silaturahmi tidak sekedar bersentuhan tangan atau memohon maaf belaka. Ada sesuatu yang lebih hakiki dari itu semua, yaitu aspek mental dan keluasan hati. Hal ini sesuai dengan asal kata dari silaturahmi itu sendiri, yaitu shilat atau washl, yang berarti menyambungkan atau menghimpun, dan ar-rahiim yang berarti kasih sayang. Makna menyambungkan menunjukkan sebuah proses aktif dari sesuatu yang asalnya tidak tersambung. Menghimpun biasanya mengandung makna sesuatu yang tercerai-berai dan berantakan, menjadi sesuatu yang bersatu dan utuh kembali. Tentang hal ini Rasulullah SAW bersabda, "Yang disebut bersilaturahmi itu bukanlah seseorang yang membalas kunjungan atau pemberian, melainkan bersilaturahmi itu ialah menyambungkan apa yang telah putus" (HR. Bukhari).

Kalau orang lain mengunjungi kita dan kita balas mengunjunginya, ini tidak memerlukan kekuatan mental yang tinggi. Boleh jadi kita melakukannya karena merasa malu atau berhutang budi kepada orang tersebut. Namun, bila ada orang yang tidak pernah bersilaturahmi kepada kita, lalu dengan sengaja kita mengunjunginya walau harus menempuh jarak yang jauh dan melelahkan, maka
inilah yang disebut silaturahmi. Apalagi kalau kita bersilaturahmi kepada orang yang membenci kita, seseorang yang sangat menghindari pertemuan dengan kita, lalu kita mengupayakan diri untuk bertemu dengannya. Inilah silaturahmi yang sebenarnya.

Rasulullah SAW pernah memberikan nasihat kepada para sahabat, "Hendaklah kalian mengharapkan kemuliaan dari Allah". Para sahabat pun bertanya, "Apakah yang dimaksud itu, ya Rasulullah?" Beliau kemudian bersabda lagi, "Hendaklah kalian suka menghubungkan tali silaturahmi kepada orang yang telah memutuskannya, memberi sesuatu (hadiah) kepada orang yang tidak
pernah memberi sesuatu kepada kalian, dan hendaklah kalian bersabar (jangan lekas marah) kepada orang yang menganggap kalian bodoh" (HR. Hakim).

Dalam hadis lain dikisahkan pula, "Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan shaum?" tanya Rasulullah SAW kepada para sahabat. "Tentu saja," jawab mereka. Beliau kemudian menjelaskan, "Engkau damaikan yang bertengkar, menyembungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan tali persaudaraan di antara mereka adalah amal shalih yang besar pahalanya.
Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali silaturahmi" (HR. Bukhari Muslim).

* * *

Sahabat, bagaimana mungkin hidup kita akan tenang kalau di dalam hati masih tersimpan kebenciaan dan rasa permusuhan kepada sesama muslim. Perhatikan keluarga kita, kaum yang paling kecil di masyarakat. Bila di dalamnya ada beberapa orang saja yang sudah tidak saling tegur sapa, saling menjauhi, apalagi kalau di belakang sudah saling menohok, menggunjing, dan memfitnah,
maka rahmat Allah akan dijauhkan dari rumah tersebut. Dalam skala yang lebih luas, dalam lingkup sebuah negara, bila di dalamnya sudah ada kelompok yang saling jegal, saling fitnah, atau saling menjatuhkan, maka dikhawatirkan bahwa bangsa dan negara tersebut akan terputus dari rahmat dan pertolongan Allah SWT.

Silaturahmi adalah kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dengan terhubungnya silaturahmi, maka ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Bagaimana pun besarnya umat Islam secara kuantitatif, sama sekali tidak ada artinya bila di dalamnya tidak ada persatuan dan kerja sama untuk taat kepada Allah. Sebagai umat yang besar, kaum muslim memang diwajibkan ada yang terjun di bidang politik, ekonomi, hukum, dsb, karena tanpa itu kita akan dipermainkan dan kepentingan kita tidak ternaungi secara legal di dalam kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, berbagai kelompok yang ada harus dijadikan sarana berkompetisi untuk mencapai satu tujuan mulia, tidak saling menghancurkan dan berperang, bahkan lebih senang berkoalisi dengan pihak lain. Sebagai umat yang taat, kita berkewajiban untuk mendukung segala kegiatan yang menyatukan langkah berbagai kelompok kaum muslimin dan mempererat tali persaudaraan diantara kita semua. Wallahu 'alam...

(diambil dari tausiah Aa Gym, www.republika.co.id)

Wednesday, July 2, 2008

ANAK DAN MASA DEPAN UMAT ISLAM

Penulis: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al-Atsari

Anak adalah harapan di masa yang akan datang. Kalimat ini seringkali kita dengar dan sangat lekat di benak kita. Tak ada yang memungkiri ucapan itu karena memang ia sebuah kenyataan bukan hanya sekadar ungkapan perumpamaan, benar-benar terjadi bukan sebatas khayalan belaka. Karenanya, sudah semestinya memberikan perhatian khusus dalam hal mendidiknya sehingga kelak mereka menjadi para pengaman dan pelopor masa depan umat Islam.

Lingkungan pertama yang berperan penting menjaga keberadaan anak adalah keluarganya sebagai lembaga pendidikan yang paling dominan secara mutlak, kemudian kedua orang tuanya dengan sifat-sifat yang lebih khusus. Sesungguhnya anak itu adalah amanat bagi kedua orang tuanya. Di saat hatinya masih bersih, putih, sebening kaca jika dibiasakan dengan kebaikan dan diajari hal itu maka ia pun akan tumbuh menjadi seorang yang baik, bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan kejelekan dan hal-hal yang buruk serta ditelantarkan bagaikan binatang, bukan mustahil dia akan tumbuh menjadi seorang yang berkepribadian rusak dan hancur. Kerugian mana yang lebih besar yang akan dipikul kedua orang tua dan umat umumnya apabila meremehkan pendidikan anak-anaknya.

Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, “Bila terlihat kerusakan pada diri anak-anak, mayoritas penyebabnya adalah bersumber dari orang tuanya.” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita dengan firmanNya, “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At Tahrim: 6). Berkata Amirul Mukminin Ali Radiyallahu ‘anhu, “Ajarilah diri-diri kalian dan keluarga-keluarga kalian kebaikan dan bimbinglah mereka.”.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dipertanggungjawabkan, seorang imam adalah pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya, seorang laki-laki pemimpin atas keluarganya dan akan diminta pertanggungjawabannya, seorang wanita pemimpin dalam rumah suaminya dan ia bertanggungjawab, dan seorang budak adalah pemimpin dalam hal harta tuannya dan ia bertanggungjawab. Ketahuilah bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawabannya.” (HR Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu).

Dari sahabat Anas bin Malik, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala akan mempertanyakan pada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaganya ataukah menyia-nyiakannya? Hingga seseorang akan bertanya kepada keluarganya.” (HR Ibnu Hibban, Ibnu Ady dalam Al Kamil, dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah dan dishahihkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath 13/113). Demikian pula dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anakmu.” Sikap adil dan kasih sayang terhadap anak adalah dengan mengajari mereka kebaikan, para orangtua menjadikan dirinya sebagai madrasah bagi mereka.

Keluarga, terlebih khusus kedua orang tua dan siapa saja yang menduduki kedudukan mereka adalah unsur-unsur yang paling berpengaruh penting dalam membangun sebuah lingkungan yang mempengaruhi kepribadian sang anak dan menanamkan tekad yang kuat dalam hatinya sejak usia dini. Seperti Zubair bin Awam, misalnya. Ia adalah salah seorang dari pasukan berkudanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yang dinyatakan oleh Umar ibnul Khattab, “Satu orang Zubair menandingi seribu orang laki-laki.” Ia seorang pemuda yang kokoh aqidahnya, terpuji akhlaqnya, tumbuh di bawah binaan ibunya Shafiyah binti Abdul Mutholib, bibinya Rasulullah, dan saudara perempuannya Hamzah.

Ali bin Abi Tholib sejak kecil menemani Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, bahkan dipilih menjadi menantunya. Ia tumbuh sebagai seorang pemuda sosok teladan bagi para pemuda seusianya di bawah didikan ibunya Fathimah binti Asad dan yang menjadi mertuanya Khadijah binti Khuwailid. Begitu pula dengan Abdullah bin Ja’far, seorang bangsawan Arab yang terkenal kebaikannya, di bawah bimbingan ibunya Asma binti Umais.

Orang tua mana yang tidak gembira jika anaknya tumbuh seperti Umar ibnu Abdul Aziz. Pada usianya yang masih kecil ia menangis, kemudian ibunya bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Aku ingat mati.” - waktu itu ia telah menghafal Al Qur’an - ibunya pun menangis mendengar penuturannya. Berkat didikan dan penjagaan ibunya yang shalihah Sufyan Ats Tsauri menjadi ulama besar, amirul mukminin dalam hal hadits. Saat ia masih kecil ibunya berkata padanya, “Carilah ilmu, aku akan memenuhi kebutuhanmu dengan hasil tenunanku.” Subhanallah! Anak-anak kita rindu akan ucapan dan kasih sayang seorang ibu yang seperti ini, seorang ibu yang pandangannya jauh ke depan. Seorang ibu yang super arif dan bijaksana.

Para pembaca -semoga dirahmati Allah- lihatlah bagaimana para pendahulu kita yang shalih, mereka mengerahkan segala usaha dan waktunya dalam rangka men-tarbiyah anak-anaknya yang kelak menjadi penentu baik buruknya masa depan umat. Jangan sampai seorang pun di antara kita berprasangka mencontoh para pendahulu yang shalih adalah berarti kembali ke belakang, kembali ke zaman baheula (istilah orang Sunda).

Di saat orang-orang berlomba-lomba meraih gengsi modernisasi, ketahuilah bahwa mencontoh sebaik-baik umat yang dikeluarkan ke tengah-tengah manusia adalah berarti satu kemajuan yang pesat, teknologi canggih dalam membangun aqidah yang benar, memperbaiki moral yang bejat serta membendung semaraknya free children sehingga mengantarkan kepada apa yang telah diraih oleh generasi yang mulia yang tiada tandingannya. Meniti jalannya mereka dalam rangka men-tarbiyah/mendidik anak berarti tengah mempersiapkan konsep perbaikan umat di masa yang akan datang, dimana tidak akan pernah menjadi baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang menjadikan baik generasi umat pertama. Allah berfirman, “Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu, maka apakah kamu tiada memahaminya.” (QS Al Anbiyaa: 10).

Perhatian serius dan tarbiyah yang benar kini sangatlah dibutuhkan di zaman yang dipenuhi berbagai fitnah, fitnah syahwat dan syubhat yang terus memburu anak-anak kita dari segala arah dihembuskan oleh da’i-da’i sesat yang berada di pintu-pintu neraka jahanam. Allah berfirman, “… sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).” (QS An Nisaa: 27).

Benarlah apa yang dikatakan dalam sebuah syair:

Siapa menggembala kambing di tempat rawan binatang buas
Kemudian lalai darinya, singa akan merebut gembalaannya.

Para pembaca -semoga dirahmati Allah- Islam sebagai agama yang universal tentu tidaklah mengesampingkan tarbiyah anak. Bahkan tarbiyah anak adalah sorotan utama dalam Islam sebab Islam adalah agama tarbiyah. Dengan posisi tarbiyah anak yang demikian pentingnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabadikan wasiat Luqman, seorang hamba yang shalih, kepada anaknya sebagai acuan bagi para murobbi/pendidik, begitu pula dengan sosok pribadi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai seorang Rasul sekaligus menjadi imam para murobbi dunia.

Perhatian dan kecintaannya terhadap anak-anak sangatlah tinggi, terlihat saat beliau mengajari Ibnu Abbas di usianya yang muda belia sehingga tampillah Ibnu Abbas menjadi sosok pemuda yang berilmu, bertaqwa, dan memiliki keberanian yang luar biasa. Salah satu bentuk kasih sayangnya terhadap anak, beliau selalu mencium anak-anak bila berjumpa, sebagaimana dalam Shahih Bukhari dari sahabat Abu Hurairoh, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mencium Hasan …”, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Shohihnya dari sahabat Aisyah radliyallahu ‘anha berkata, “Seorang badui datang menemui Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan berkata: Kalian selalu menciumi anak-anak, sedangkan kami tidak pernah menciuminya.” Lalu Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam berkata, “Kami menginginkan agar Allah mencabut kasih sayang dari hatimu.”, tidak ada bahan pengajaran yang paling baik dan sempurna kecuali yang bersumber dari kitab dan sunnah karena di situlah adanya ilmu yang mencakup segala bidang, seperti ungkapan Imam Syafi’i:

Ilmu itu adalah ucapan Allah dan ucapan Rasul-Nya
Sedang selain dari itu adalah bisikan-bisikan syaithan.

Alangkah baik bila penulis uraikan beberapa langkah dasar dalam mendidik anak yang disarikan dari Al-Kitab dan Sunnah.

Pertama: mengajarkan tauhid kepada anak, mengesakan Allah dalam hal beribadah kepada-Nya, menjadikannya lebih mencintai Allah daripada selain-Nya, tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah. Ini pendidikan yang paling urgen (penting) di atas hal-hal penting lainnya.

Kedua: mengajari mereka sholat dan membiasakannya berjamaah.

Ketiga: mengajari mereka agar pandai bersyukur kepada Allah, kepada kedua orang tua, dan kepada orang lain.

Keempat: mendidik mereka agar taat kepada kedua orang tua dalam hal yang bukan maksiat, setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang mutlak.

Kelima: menumbuhkan pada diri mereka sikap muraqabah merasa selalu diawasi Allah. Tidak meremehkan kemaksiatan sekecil apa pun dan tidak merendahkan kebaikan walau sedikit.

Keenam: memberitahu mereka akan wajibnya mengikuti sabilul mukminin al muwahhidin (jalannya mukminin yang bertauhid), salafush shalih generasi terbaik umat ini, dan memberikan loyalitas kepada mereka.

Ketujuh: mengarahkan mereka akan pentingnya ilmu Al Kitab dan Sunnah.

Kedelapan: menanamkan pada jiwa mereka sikap tawadlu, rendah hati, dan rujulah serta syaja’ah (kejantanan dan keberanian). Dan masih banyak lagi selain apa yang penulis uraikan di sini. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita anak-anak yang sholih. Amin ya Mujiibas sailiin. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al Furqoon: 74).

Para pembaca -semoga dirahmati Allah- begitulah memang seharusnya pendidikan anak ini menjadi kewajiban nomor satu bagi para orang tua, menelantarkannya berarti menelantarkan amanat dan kepercayaan Allah, membiarkannya adalah berarti membiarkan kehancuran anak, orang tuanya, umat, bangsa, dan negara. Adapun mendidiknya adalah cahaya masa depan umat yang cerah yang berarti juga mengangkat derajat sang anak dan derajat kedua orangtuanya di surga. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Akan diangkat derajat seorang hamba yang sholih di surga. Lalu ia akan bertanya-tanya: Wahai Rabb apa yang membuatku begini?” Kemudian dikatakan padanya, “Permohonan ampun anakmu untukmu.” (HR Ahmad dari sahabat Abu Hurairah).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka, tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS Ath Thuur: 21).

Allah-lah yang memberi taufiq kepada apa yang dicintai-Nya dan diridlai-Nya.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wal Ilmu indallah.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsari. Bulletin al Wal wal Bara Edisi ke-14 Tahun ke-1 / 21 Maret 2003 M / 18 Muharrom 1424 H. Url sumber http://.fdawj.atspace.org/awwb/th1/14.htm)

*Dengan diedit tanpa mengurangi makna.